Opini: “No Viral, No Justice” — Keadilan yang Tergantung pada Sorotan Publik?
Oleh: Ida Ayu Gde Prameswari
Fenomena “No Viral, No Justice” mencerminkan kenyataan pahit dalam sistem hukum dan sosial kita saat ini. Istilah ini muncul dari keprihatinan masyarakat bahwa keadilan baru ditegakkan ketika suatu kasus menjadi viral di media sosial. Tanpa sorotan publik dan tekanan netizen, kasus-kasus tertentu cenderung diabaikan atau ditangani setengah hati oleh pihak berwenang.
Di satu sisi, media sosial telah menjadi alat pemberdayaan masyarakat. Ia memungkinkan suara rakyat kecil didengar luas dan mempercepat respons dari pihak yang berwenang. Banyak kasus yang sebelumnya luput dari perhatian publik—seperti kekerasan oleh aparat, diskriminasi, atau ketidakadilan hukum—akhirnya mendapat penanganan serius karena viralitasnya.
Namun di sisi lain, bergantung pada viralitas untuk mendapatkan keadilan menciptakan masalah baru. Tidak semua orang memiliki akses atau kemampuan untuk membuat kasusnya viral. Ini menimbulkan ketimpangan: hanya kasus-kasus yang “menarik perhatian” publik yang mendapat prioritas, sementara yang lain tenggelam dalam sunyi. Lebih parahnya lagi, proses hukum bisa terganggu karena tekanan massa, memunculkan risiko trial by public opinion.
Fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi aparat penegak hukum dan lembaga negara: keadilan tidak boleh bergantung pada sorotan kamera atau trending topic. Keadilan sejati adalah ketika semua orang, tanpa kecuali, mendapatkan haknya secara adil, cepat, dan transparan—meskipun tanpa satu pun cuitan di Twitter.
Kesimpulan:
“No Viral, No Justice” bukan hanya keluhan, tapi juga peringatan. Bahwa kepercayaan publik terhadap sistem keadilan mulai goyah, dan bahwa media sosial kini memainkan peran ganda: sebagai alat pengawasan, sekaligus pengadilan alternatif. Saatnya kita benahi sistem hukum agar keadilan tidak lagi bergantung pada seberapa sering ia dibagikan.